Harga BBM dan APBN Kita

Oleh Kwik Kian Gie

Menyikapi naiknya harga minyak mentah hingga 74 dollar AS per barrel, Wakil Presiden Jusuf Kalla setelah rapat dengan menteri-menteri ekonominya mengatakan, sampai seberapa tingginya pun harga minyak mentah di pasar dunia, APBN tidak akan terpengaruh. Karena itu harga BBM dipastikan tidak akan naik, meski harga minyak mentah mencapai 100 dollar AS per barrel.

Namun Menteri Keuangan mempunyai pendapat yang berbeda. Dia menyatakan, harga minyak dunia yang tinggi mengakibatkan subsidi BBM meningkat lagi. Demikian juga subsidi kepada PLN, sehingga APBN menjadi rawan. Menko Perekonomian Boediono mempunyai pendapat yang sama dengan Menkeu. Dia mengatakan, penerimaan migas akibat kenaikan harga minyak mentah masih lebih kecil dibanding dengan beban subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.

Bagaimana ekonomi mau beres jika untuk masalah yang begitu penting tidak ada pengetahuan dan pemahaman yang sama antara menteri-menteri ekonomi dengan Wapres yang memegang kendali ekonomi tertinggi ?

Tidak lama setelah dilantik, dalam kesempatan bertemu singkat dengan Wapres JK, beliau mengatakan kepada saya, kalau harga minyak mentah mencapai 60 dollar AS per barrel, pemerintah harus mengeluarkan subsidi untuk BBM dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 115 triliun. Uang itu tidak ada. Terjadilah kenaikan harga BBM sampai sama dengan harga pasar dunia.

Kalau kita ambil bensin premium, harganya naik dari Rp 2.700 menjadi Rp 4.500 per liter. Dengan nilai tukar rupiah satu dollar AS sama dengan Rp 10.000, harga bensin premium yang menjadi Rp 4.500 per liter ekuilaven dengan harga minyak mentah sebesar 61,55 dollar AS per barrel. Ketika itu, harga minyak mentah 60 dollar AS per barrel.

Jelas sekali jalan pikirannya, harga BBM di dalam negeri harus selalu ekuivalen dengan harga minyak mentah di pasar dunia. Dikatakan oleh Wapres, selanjutnya harga BBM akan naik turun dengan persentase yang persis sama dengan naik turunnya harga minyak internasional yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Maka, katanya lebih lanjut, Indonesia sudah tidak akan lagi mempunyai masalah subsidi BBM.

Segera setelah kenaikan harga BBM yang drastis itu, semua harga barang dan jasa meningkat tajam. Terutama PLN yang bahan bakunya BBM, langsung menyatakan akan rugi amat besar jika tarif dasar listrik (TDL) tidak dinaikkan. Mula-mula pemerintah mengatakan TDL akan dinaikkan. Tetapi setelah ada reaksi keras dari masyarakat, pemerintah ketakutan. Buru-buru mengatakan TDL tidak akan dinaikkan, yang berarti, listrik disubsidi.

“Opportunity loss”

BBM tidak disubsidi, TDL disubsidi. Yang lebih aneh lagi, “subsidi” BBM yang ditiadakan justru bukan subsidi, tetapi perbedaan antara harga yang dikenakan kepada konsumen Indonesia untuk minyak yang dimilik sendiri dengan harga yang ditentukan NYMEX. Kalaupun mau berpikir dalam arti “rugi”, ruginya itu opportunity loss, bukan real cash money loss. Dalam hal TDL, karena PLN harus membayar bahan bakar yang mahal dari Pertamina, kerugiannya kerugian riil. Dan ini justru disubsidi. Jelas jalan pikiran pemerintah amat kacau balau.

Dalam kekacau berpikir ini Wapres JK menyadari, yang dinamakan “subsidi BBM” tidak sama dengan pengeluaran uang. Maka dikatakan, sampai seberapapun harga minyak mentah di pasar internasional, APBN tidak akan terpengaruh. Apa artinya?

Artinya, ketika Wapres JK mendukung sekuat tenaga menaikkan harga BBM sampai 126 persen, beliau dikecoh dan “disesatkan” oleh para menteri ekonominya sendiri. Kini ia baru menyadari.

Tidak demikian dengan para menteri ekonominya. Bagi mereka mekanisme pasar adalah dogma dan doktrin yang harga mati. Jika di Indonesia tidak ada mekanisme pasar untuk minyak mentah, mekanisme pasar di New York atau NYMEX harus berlaku buat minyak mentah Indonesia.

Kita harus bergembira bahwa Wapres JK mulai “berpikir normal”. Untuk itu, izinkan saya menjelaskannya sekali lagi.

Biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi dari minyak mentah sampai menjadi BBM atau bensin yang siap pakai di pompa-pompa bensin sebesar 10 dollar AS per barrel. Kalau nilai tukar rupiah, misalnya, Rp 10.000 per dollar AS, maka per liter menjadi Rp 630.

Jadi sebelum harga bensin premium dinaikkan, yaitu ketika masih Rp 2.700 per liter pemerintah sudah kelebihan uang tunai sebesar Rp 2.070 per liter. Mengapa dikatakan memberi subsidi? Karena doktrin “mekanisme pasar” mengatakan, BBM milik bangsa Indonesia yang harus dibayar pemiliknya sendiri dan harus ditentukan oleh NYMEX.

Nah, NYMEX menentukan harga minyak mentahnya 60 dollar AS per barrel. Jika dengan nilai tukar RP 10.000 per dollar, maka sama dengan Rp 600.000 per barrel. Bila dibagi 159, maka per liternya menjadi Rp 3.774.

Angka itu ditambah biaya-biaya lifting, pengilangan dan transportasi sebesar Rp 630 per liter tadi menjadi Rp 4.040. Doktrin mekanisme pasar mengatakan, ini yang namanya “harga” dan yang harus dikenakan kepada bangsa Indonesia.

Selisih dengan harga yang dikenakan sebelum naik (Rp 2.700 per liter) sebesar Rp 1.340 adalah subsidi. Ini harus dihapus dengan menaikkannya menjadi Rp 4.500 per liter dengan bensin premium sebagai acuan.

Mengingat Wapres menganggap mekanisme pasar bukan doktrin, saat menyadari kesalahan atau “penyesatan” yang diberikan kepadanya oleh menteri-menteri ekonominya, beliau dengan lantang mengatakan seperti dikutip di atas. Tetapi tidak demikian dengan menteri-menteri ekonominya. Mereka harus mempertahankan doktrin yang diperintahkan “majikan” mereka. Maka mereka tidak peduli apakah sesama anak bangsa mati kelaparan atau tidak akibat naiknya harga BBM yang harus selalu persis sama dengan harga yang dibentuk NYMEX.

Sebagian memang impor

Perlu dikemukakan, BBM yang dikonsumsi rakyat Indonesia sebagian harus diimpor. Untuk yang harus diimpor ini, pemerintah harus membayar harga internasional sepenuhnya. Maka jika harga jual BBM tidak ekuivalen dengan harga minyak mentah internasional, pemerintah memang rugi.

Untuk yang dapat dipenuhi oleh minyak mentah yang menjadi hak Indonesia, pemerintah memperoleh surplus uang. Surplus uang tunai ini harus disandingkan dengan minus uang tunai dari bagian yang diimpor. Hasilnya mungkin masih minus, tetapi tidak banyak. Dan defisit yang tidak banyak ini dikompensasi dengan gas alam yang melimpah.

Dalam menghitung defisit atau tidak, JK sekarang memperluas wawasannya dengan gas alam. Maka dikatakanlah kalaupun harga minyak mentah di New York sampai 100 dollar AS per barrel sekalipun, APBN kita tetap bergeming.

Setelah “disesatkan” kini Wapres menjadi benar. Sayang BBM sudah telanjur dinaikkan 126 persen dengan akibat kerusakan ekonomi dan penderitaan rakyat yang amat luar biasa.

Kwik Kian Gie Ekonom Senior

Kompas 1 Agustus 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/01/opini/2846258.htm

No comments yet

Tinggalkan komentar