Archive for the ‘Opini’ Category

Minyak Disubsidi, Minyak Dikorupsi

Krisis minyak dan gas bumi (migas) tak henti-hentinya menjadi berita di media massa Indonesia. Bahkan krisis itu bergulir bak bola salju menggulung banyak sektor lain. Terakhir listrik ikut terkena imbasnya.Bahkan beberapa pihak mulai meneriakkan kekhawatirannya terhadap kondisi migas Indonesia. Tidak transparan dan akuntabelnya usaha eksplorasi dan eksploitasi migas berdampak pada tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor ini.

Di sisi lain makin tingginya harga minyak mentah dunia dijadikan alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Maraknya demonstrasi dan aksi seolah tak berarti.DPR pun terpaksa ujuk gigi di tengah kondisi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 yang kian dekat.

Usaha Hulu Migas

Produksi minyak dan gas bumi di Indonesia dilakukan oleh para kontraktor yang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi berdasarkan suatu kontrak bagi hasil yang disebut production sharing contract (PSC). Setelah disahkannya Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Istilah kontrak bagi hasil (KBH) diubah menjadi kontrak kerja sama (KKS). Namun substansi dari KKS tersebut tidak berbeda dengan KBH.Berdasarkan Pasal 1 UU No.22/2001,KKS dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi haruslah yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesarbesar untuk kemakmuran rakyat.

Namun pada kenyataannya,KKS migas cenderung merugikan Indonesia. Ini tecermin dari tidak efisiennya dan makin tingginya biaya cost recovery minyak yang harus dibayarkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri mencatat, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 13 kontraktor minyak, ditemukan senilai Rp39,9 triliun yang seharusnya tidak dibayarkan sebagai cost recovery untuk produksi minyak.

Begitu juga dalam penerapan pola ”bagi hasil” yang ternyata tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dampaknya realisasi penerimaan negara mengalami defisit dan tidak sesuai harapan. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan manajemen kegiatan hulu migas Indonesia.

BP Migas yang ditunjuk sebagai badan pelaksana kegiatan hulu belum menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan optimal. Penyajian laporan keuangannya tidak sesuai standar dan kaidah keuangan negara. Ditambah hasil temuan BPK terhadap penerimaan migas tahun 2005–2007 yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa atau di luar mekanisme APBN senilai Rp120,329 triliun.

Penerimaan Minyak Indonesia

Dari laporan realisasi penerimaan negara dari sektor migas selama 2000–2007 tercatat penerimaan dari migas senilai Rp977,199 triliun dan Rp642,825 triliun (65,7%) di antaranya berasal dari minyak. Berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan Indonesian Corruption Watch (ICW) dengan menggunakan metode perhitungan dan data resmi pemerintah, selama 2000–2007 ditemukan selisih kurang penerimaan dari minyak sebesar Rp194 triliun lebih.Hal ini terjadi karena beberapa hal.

Di antaranya,pertama,angka produksi minyak Indonesia yang dicatat dalam realisasi penerimaan negara jauh lebih rendah dari realisasi sebenarnya. Rata-rata tiap tahun dicatat lebih rendah 16,102 juta barel (total 128,820 juta barel). Jumlah ini setara dengan Rp42,098 triliun. Kedua,pola bagi hasil akhir minyak yang seharusnya diterima Indonesia adalah 85% dan untuk kontraktor 15%.

Namun pada praktiknya hasil akhir yang diterima Indonesia jauh lebih kecil dari seharusnya. Ketiga, adanya indikasi praktik tidak jujur dalam pengelolaan pajak penerimaan minyak dan gas. Seperti yang diungkapkan dalam hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat,”Pencatatan Penerimaan PPh Migas dan PBB Migas tidak terintegrasi dalam aplikasi Modul Penerimaan Negara dan tidak dapat diyakini kewajarannya.”

Menjawab Sanggahan BP Migas

BP Migas dalam pernyataan resminya di situs http://www.bpmigas.com menyatakan, ”Tuduhan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa telah terjadi korupsi pada penerimaan minyak pada tahun 2000–2008 sebesar Rp194 triliun, ternyata tidak berdasar”. Lebih lanjut dikatakan, angka tersebut muncul antara lain karena ICW hanya melakukan penghitungan dan salah memilih data yang digunakan.

Mereka mengatakan sedikitnya ada tiga hal yang menyebabkan perhitungan ICW tidak tepat,bahkan terkesan menyesatkan.Faktor-faktor tersebut adalah pertama, adanya perbedaan metode penghitungan besaran realisasi penerimaan negara. Kedua,data produksi diperhitungkan sebagai angka realisasi lifting.

Ketiga, ICW tidak memasukkan faktor pengurang pendapatan Negara pada sektor migas. Sejak pertama kali ICW menyampaikan hasil temuannya,baik kepada publik maupun melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal indikasi penyimpangan berupa kekurangan penerimaan negara dari minyak sebesar Rp194 triliun, kami berharap adanya klarifikasi dan penjelasan yang jujur dari badan yang berwenang.

Baik itu yang berada dibawah kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun lembaga lainnya.Sayangnya hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci dan faktual mengenai halhal yang terkait indikasi penyimpangan pengelolaan minyak. ICW dalam melakukan perhitungan penerimaan negara dari minyak menggunakan dasar metode dan data yang resmi, baik yang ada di lingkungan kementerian ESDM, Depkeu maupun dari hasil laporan pemeriksaan BPK.

Kami rasa sanggahan BP Migas pun dapat kami jawab. Pertama, metode pendekatan acrual basis ataupun pendekatan cash basis tidak akan memberikan perbedaan yang signifikan karena kami melakukan perhitungan penerimaan minyak dari tahun 2000 hingga 2007 (kecuali kami hanya menghitung penerimaan untuk satu tahun saja). Kedua, data produksi yang kami gunakan sebagai dasar perhitungan sudah dikurangi own use.

Lalu, karena kami menghitunguntukperiodeyanglama(8 tahun) maka seharusnya tidak ada perbedaan antara produksi dan lifting/ minyak terjual. Malah penerimaan minyak akan lebih besar lagi karena minyak (yang tersimpan di kilang) dijual pada saat harga makin naik.Ketiga, kami sudah memperhitungkan faktor pengurang dalam perhitungan penerimaan minyak Indonesia.

Jangan lupa juga bahwa selain unsur pengurang, Indonesia mendapat tambahan penerimaan minyak dari selisih domestic market obligation(DMO). Kami rasa itu sudah cukup menjelaskan keidaksepakatan mengenai hasil temuan. Kalaupun ada ketidakcocokan, mari kita hitung ulang sesuai metode yang ada.

Perlu kita ingat bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia, baik migas maupun hasil tambang lainnya adalah hak dan milik bangsa indonesia. Sudah seharusnya potensi itu dikelola dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Akhirnya, sebelum kita membahassharing the paindengan kontraktor migas, lebih baik pemerintah sharing the truthkepada rakyatnya.(*)

Firdaus Ilyas
Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesian Corruption Watch (ICW)
Source:Seputarindonesia / 21-Jul-2008

Minyak dan Sektor Industri

Kompas, 22 Desember 2007

Oleh M Ikhsan Modjo

Tantangan ekonomi nasional terbesar pada tahun 2008 adalah kenaikan harga minyak. Saat ini harga minyak dunia sudah melambung tinggi, menyentuh angka 99 per barrel dollar AS pada akhir November dan berpotensi menembus angka 100 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga minyak ini akan memiliki dampak saling terkait yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional 2008. Dampak-dampak ini antara lain pada sisi fiskal, moneter, konsumsi rumah tangga, dan yang terpenting sektor industri.

Bagi sektor industri, kenaikan harga minyak akan berdampak pada harga dan output akibat adanya kenaikan biaya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), peningkatan biaya input (raw materials), serta biaya transportasi dan distribusi. Untuk mengukur dampak langsung kenaikan harga minyak pada BBM, satu simulasi yang saya lakukan dengan menggunakan data Statistik Industri Indonesia 2000-2004 serta asumsi kenaikan harga minyak rata-rata sebesar 30 persen dalam satu tahun menunjukkan hasil seperti tertera di tabel.

>endtab

Perhitungan di atas belum termasuk dampak tidak langsung dari penurunan ekspor, kenaikan upah, harga komponen, dan biaya transportasi. Pengikutsertaan komponen-komponen ini dipastikan membawa dampak lebih besar pada harga dan output sektor industri.

Menghadapi prospek ini diperlukan satu strategi kebijakan yang tidak sekadar tambal sulam, seperti pemberian insentif fiskal temporer, yang bisa meningkatkan defisit dan efek pendesakan (crowding-out effect) suku bunga dan investasi. Langkah terpenting seharusnya adalah pemberian ruang adaptasi lebih pada struktur biaya produksi.

Pemberian ruang adaptasi lebih dapat diupayakan dengan cara memberantas penyebab kekakuan biaya dan penguatan kelembagaan pasar. Salah satu sumber kekakuan akut bagi penyesuaian ongkos produksi adalah kekakuan di bidang ketenagakerjaan. Penetapan upah minimum yang birokratis, berbelit-belit, dan bercampur aduk politik membuat tingkat upah tidak merefleksikan produktivitas dan menutup ruang adaptasi biaya terhadap kenaikan biaya input, seperti BBM.

Akibatnya, perusahaan akan menyerap kenaikan harga input seperti BBM dengan menyesuaikan jumlah ketimbang upah pekerja. Hal ini menyebabkan harga akan meningkat dan output akan menurun lebih dari yang seharusnya, yang pada gilirannya menimbulkan masalah pengangguran, mengingat tidak semua pekerja dengan upah tinggi bisa terserap.

Dari pengalaman di beberapa negara, kenaikan biaya akibat harga minyak yang disertai kekakuan upah mengakibatkan tertekannya tingkat produksi dua kali, yang pada akhirnya menyebabkan kontraksi lebih besar pendapatan nasional. Resesi ekonomi yang panjang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 1970-an disebabkan oleh masalah ini.

Peningkatan harga minyak sebesar hampir empat kali lipat saat itu tidak bisa teradaptasi penuh akibat militansi serikat buruh dalam memperjuangkan peningkatan upah. Kekakuan ini menyebabkan terjadinya stagflasi di Eropa dan Amerika Serikat pada era tersebut. Inflasi melambung tinggi, sementara pada saat yang sama terjadi kontraksi output dan penambahan jumlah pengangguran.

Kondisi ini mirip dengan yang tengah terjadi di Indonesia. Kekakuan di bidang ketenagakerjaan berpotensi untuk menghambat adaptasi kenaikan harga minyak pada struktur biaya, yang akan mengakibatkan tertekannya output lebih dari semestinya, serta meningkatnya inflasi dan pengangguran.

Kekakuan lain adalah pada biaya transaksi berupa ongkos pungutan gelap dan liar pada industri. Celakanya, selain ilegal, pungli diterapkan tanpa pandang bulu, alias bersifat sebagai biaya tetap (fixed cost), sehingga menyebabkan kerugian relatif besar pada perusahaan kecil ketimbang perusahaan besar. Karena itu, tidak mengherankan krisis akibat tekanan eksternal lebih merugikan usaha kecil dan menengah ketimbang usaha besar.

Pemerintah juga bisa membantu industri menghadapi kenaikan harga minyak melalui reformasi kelembagaan pasar. Pasar pada beberapa komoditas input sektor industri kerap bersifat monopsoni atau oligopsoni, di mana hanya terdapat satu atau beberapa pemasok. Struktur pasar ini menyebabkan tingkat harga input meningkat secara tidak proporsional, akibat kenaikan harga minyak, yang akan semakin memberatkan perusahaan.

Terakhir, hal yang juga penting dalam jangka menengah dan panjang adalah mengurangi ketergantungan industri pada minyak. Dari tahun ke tahun, ketergantungan ini justru meningkat dan bukannya menurun walau ada kenaikan harga. Ke depan, sudah seyogianya ada satu rencana teknis dan target pengurangan yang lebih detail untuk melakukan pengalihan penggunaan energi pada industri, dari minyak ke energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan.

M Ikhsan Modjo Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/22/opini/4093711.htm

Minyak dan Kemiskinan

Oleh Suhardi Suryadi

Ketika harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, negara-negara Teluk akan kerepotan membelanjakan uangnya meski sudah diinvestasikan untuk berbagai megaproyek di bidang infrastruktur dan ekonomi.

Dengan tingkat ekspor 11,890 juta barrel per hari, Arab Saudi, Kuwait, Emirat, dan Qatar akan mendulang pendapatan 1,189 miliar dollar per hari. Situasi agak paradoks dengan Indonesia.

Bagi Indonesia yang mengekspor 300.000 dan impor 250.000 barrel per hari, kenaikan harga minyak itu nyaris tak berarti apa-apa. Bahkan hal ini bisa menjadi malapetaka bagi 39 juta warga miskin karena berdampak pada kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok serta biaya transportasi

Sebenarnya kenaikan harga minyak dunia yang tak mengubah situasi kemiskinan bukan monopoli Indonesia. Kecuali kawasan Teluk, hampir semua negara berkembang yang tergabung dalam OPEC dihadapkan pada masalah kemiskinan serius. Laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) Tahun 2005 menunjukkan, posisi sebagian besar negara penghasil minyak ada pada urutan tengah dan bawah.

Nigeria, misalnya, dari minyak diperoleh 340 miliar dollar AS per tahun, tetapi HDI-nya pada posisi paling bawah. Bahkan 70 persen warganya rata-rata berpendapatan 1 dollar AS per hari, infrastruktur pendidikan dan kesehatan (terutama di desa) tidak memadai (IFAD, 2007). Juga di Angola. Meski 90 persen pendapatan negara dari minyak sebesar 15 miliar dollar AS per tahun, sekitar 2/3 penduduknya tidak memiliki akses air bersih.

Kekayaan semu

Di depan pemimpin Irak, 17 Maret 2003, Presiden George W Bush mengatakan, “Semua militer dan personel sipil Irak seharusnya berhati-hati, dalam setiap konflik, nasib rakyat amat ditentukan oleh tindakan yang diambil. Jangan menyerang sumur-sumur minyak yang menjadi sumber kekayaan rakyat Irak.”

Apa yang disampaikan Presiden Bush bisa berbeda jika melihat fakta. Sebagai negara yang memiliki kekayaan minyak terbesar kedua, cadangan minyak Irak mencapai 112 miliar barrel. Menurut Christian Aid (2005), pendapatan ekspor minyak Irak 100 juta dollar AS per hari. Meski dalam situasi perang dengan Iran, posisi HDI Irak pada urutan 50.

Namun, sejak Perang Teluk dan invasi AS, posisi HDI Irak merosot ke peringkat 126. Bahkan tercatat 19 persen penduduknya tidak memperoleh air bersih dan 48 persen buta huruf. Kekayaan minyak di bumi Irak ternyata menambah keterpurukan penduduknya ke lembah kemiskinan dan perpecahan di masyarakat. Keadaan Irak justru menguatkan studi Bank Dunia dan IMF yang mengindikasikan, negara berkembang yang menggantungkan pendapatannya pada minyak dihadapkan pada masalah kemiskinan akut, korupsi luar biasa, perselisihan antarwarga sipil, dan pemerintahan yang diktator.

Pernyataan Juan P Alfonso, mantan Menteri Perminyakan Venezuela, mungkin lebih tepat.

Dalam pidatonya di OPEC tahun 1970 Alfonso mengatakan, “10 atau 20 tahun dari sekarang, kita akan melihat minyak membawa kejatuhan. Minyak seperti barang kotor atau terbuang.” Sinyalemen ini yang mendasari pemerintahan Hugo Sanchez melakukan nasionalisasi kegiatan pengelolaan minyaknya agar kekayaan yang ada tidak bersifat semu, tetapi bermanfaat menyejahterakan negara dan warganya.

Sementara itu, Nigeria lebih memilih kebijakan keterbukaan dalam pengelolaan pendapatan hasil migas melalui pencatatan sistem aliran dana dari migas oleh semua lembaga pemerintah yang terkait pengolahan migas bersama komite independen, sehingga penerimaan negara yang diperoleh dari industri migas menjadi lebih besar 2,2 miliar dollar AS per tahun (EITI, 2005).

Politik migas

Kecemasan terhadap kemiskinan yang timbul dari eksploitasi sektor migas mendorong Bank Dunia me-review keberadaan industri ekstraktif. Dalam laporan review yang dipimpin Prof Emil Salim (2003) dinyatakan, Bank Dunia gagal mendorong industri ekstraktif untuk berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan. Untuk itu, dibutuhkan berbagai perubahan kebijakan, institusi dan kegiatan yang menciptakan operasi industri ekstraktif yang prokelompok miskin dan selaras prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satunya adalah perbaikan governance dalam pengelolaan industri ekstratif yang mendorong partisipasi masyarakat sipil, transparansi dalam penerimaan perusahaan (keuntungan) dan mekanisme yang menjamin persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat adat/lokal yang terkena dampak industri ekstraktif.

Bagi Indonesia yang sudah memasuki situasi krisis energi, tidak cukup dengan perbaikan tata kelola di bidang migas. Dibutuhkan kejelasan politik energi nasional. Misalnya, mengkaji kembali kontrak-kontrak migas, peninjauan masalah cost recovery, hak bagi hasil, hingga kewajiban kontraktor menjual minyak mentah ke dalam negeri. Tanpa ini, dikhawatirkan kita akan terjerembab dalam krisis energi dan kemiskinan yang lebih parah.

Suhardi Suryadi Direktur LP3ES
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/26/opini/4021392.htm

Energi untuk Kaum Miskin

OLeh ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT

Di tengah berbagai penolakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke elpiji akan tetap dijalankan. Menurut Wapres, jika berhasil, program konversi akan menguntungkan pemerintah dan konsumen (warga). Pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 22 triliun per tahun, sedangkan tiap keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per bulan (Antara, 13/8).

Pernyataan Wapres menjadi indikasi kuat bahwa sejak awal perhatian pemerintah memang hanya terfokus pada besaran subsidi. Yang diutamakan sebatas akselerasi program dan secepat mungkin menarik minyak tanah bersubsidi. Akibatnya, penyediaan energi untuk kaum miskin direduksi menjadi sebatas masalah fuel switching yang dihipotesiskan akan selesai dengan membagikan kompor dan tabung gas gratis.

Pemerintah menargetkan program konversi selesai dalam empat tahun, padahal di banyak negara transisi ke energi yang lebih modern memerlukan waktu hingga puluhan tahun. Di Amerika Serikat, misalnya, diperlukan hampir 70 tahun (1850-1920) dan di Korea waktu yang dibutuhkan hanya 30 tahun (1950-80) akibat adanya kemajuan teknologi (Barnes, Flas, dan Floor, 1997). Penduduk Brasil yang menggunakan elpiji sebanyak 16 persen pada 1960 menjadi 78 persen pada 1985, dan hampir semuanya pada 2004 (UN Millennium Project, 2005).

Tangga energi

Energi merupakan prioritas dalam daftar belanja kaum miskin. Dari sini mudah dipahami kenapa mereka rela antre berjam-jam untuk sekadar mendapatkan beberapa liter minyak tanah. Minyak tanah diperebutkan demi kebutuhan subsisten agar dapur tetap “ngebul” dan aktivitas sosial-ekonomi terus bergerak.

Tak banyak pilihan untuk mendorong publik menuju penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien. Dalam model “energy ladder”, transisi energi akan berlangsung dari tahap tradisional (kayu bakar, sisa panen) menuju intermediate (minyak tanah, briket), lalu modern (elpiji, biobahan bakar). Menurut model ini, rumah tangga akan beralih menggunakan energi lebih modern sejalan dengan meningkatnya pendapatan.

Meski elpiji disosialisasikan lebih efisien, banyak warga tetap enggan menggunakan kompor gas, salah satunya karena khawatir penghasilannya tak selalu cukup untuk membeli isi ulang elpiji. Kendala likuiditas (liquidity constraint) ini terbukti, seperti dilaporkan media, sebagian keluarga justru lebih memilih menjual tabung dan kompor gas yang dibagikan pemerintah untuk menutupi kebutuhan hidup.

Perspektif lebih baru menyatakan rumah tangga mengonsumsi energi dalam bentuk portofolio. Berbagai studi di sejumlah negara menunjukkan, adopsi terhadap energi yang lebih modern ternyata berujung pada pemakaian sumber energi ganda oleh masyarakat (Barnes dan Qian, 1992). Dengan kata lain, konsumsi rumah tangga berada di semua titik pada “tangga energi”. Misalnya, energi untuk memasak dikombinasikan antara kompor gas dan minyak sekaligus. Dengan fenomena ini, promosi energi yang dipandang lebih baik dan hemat tak akan banyak menuai manfaat.

Transisi energi, di pihak lain belakangan banyak dilihat dengan pendekatan “household model”. Pendekatan ini melihat pilihan rumah tangga amat kompleks seperti dipengaruhi faktor anggaran, waktu, ketersediaan sumber, dan atribut dari energi itu sendiri. Tiap energi merupakan komoditas yang memiliki atribut dan kegunaan ganda.

Implikasi

Pengalaman sejumlah negara memastikan transisi energi memerlukan durasi waktu cukup panjang dan desain kebijakan yang komprehensif. Program konversi di beberapa negara, seperti India, memberikan pilihan bagi warga miskin antara beralih ke kompor minyak atau gas. Alasannya, meski elpiji lebih efisien, jelas minyak tanah merupakan sumber energi yang lebih sehat dan ramah lingkungan ketimbang penggunaan energi tradisional.

Kini strategi penyediaan energi bagi kaum miskin diletakkan sebagai penyangga pokok bagi tercapainya tujuan pembangunan milenium (MDGs). Tiap tahun diperkirakan 1,3 juta orang meninggal akibat polusi dalam ruangan yang disebabkan penggunaan bahan bakar tradisional (World Energy Outlook 2006), sementara di Indonesia 74 persen penduduk masih memakai bahan bakar tradisional untuk keperluan memasak (IEA 2002).

Bagi kaum papa, sulit memahami konversi ke elpiji dalam logika penghematan. Bagi mereka, minyak tanah yang bisa diecer hingga setengah liter terasa lebih hemat karena tak menyita pengeluaran. Implikasi dari model “tangga energi” mengisyaratkan, tanpa pengurangan kemiskinan, transisi energi akan terkendala. Karena itu, ia mensyaratkan suksesnya pengurangan kemiskinan, jangkauan kredit mikro lebih luas, dan akses pendidikan yang merata. Tanpa kebijakan simultan semacam ini orang miskin tak akan mampu menjangkau energi modern.

Alhasil, orang miskin tetap berhak mendapatkan subsidi atau jaring pengaman sosial. Pembagian kompor dan tabung gas gratis amat menolong pada tahap awal transisi energi. Namun, itu tidak menjamin warga miskin akan naik ke “tangga energi” yang lebih sehat dan efisien secara permanen.

Peneliti di Indonesia Muda Institute

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/10/ekonomi/3818566.htm
Kompas, 10 September 2007

Akhir Kutukan Minyak Bumi?

Oleh Tata Mustasya

Menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia seharusnya bisa menjadi modal reformasi kebijakan. Paling tidak, itulah yang bisa dilakukan jika kita mengacu pada penelitian Ekonom Jeffrey D Sachs dan Andrew M Warner yang dituliskan dalam sebuah paper berjudul Natural Resource Abundance and Economic Growth.

Analisis Sachs dan Warner, dengan menggunakan data 97 negara antara 1971-1989, menunjukkan, perekonomian negara-negara dengan sumber daya alam melimpah justru cenderung tumbuh lebih lambat. Hal sebaliknya terjadi dengan negara-negara yang miskin sumber daya pertanian, mineral, dan bahan bakar.

Kutukan minyak bumi

Tidak berlebihan jika Sachs dan Warner kemudian menyebut keberlimpahan sumber daya alam sebagai kutukan bagi negara-negara yang memilikinya. Fakta lain, sumber daya alam tidak cuma mengganggu pertumbuhan ekonomi tetapi juga modernisasi politik.

Editor Newsweek Fareed Zakaria di dalam bukunya The Future of Freedom, Illiberal Democracy at Home and Abroad menjelaskan, betapa kekayaan alam suatu negara telah menghambat tumbuhnya lembaga ekonomi, politik, dan birokrasi modern. Sebabnya, negara tersebut tidak memerlukan sistem pemerintah yang efektif dan akuntabel untuk membiayai pengeluarannya. Cukup dengan memanfaatkan pemasukan dari minyak bumi. Itulah kira-kira yang telah terjadi dengan Indonesia selama puluhan tahun.

Minyak bumi di luar segala manfaat riilnya adalah kutukan besar bagi Indonesia. Devisa dari minyak bumi telah menutupi bobroknya kebijakan ekonomi-politik. Rezim Soeharto bahkan mendapat berkat tambahan oleh dua kali boom harga minyak internasional pada tahun 1973 dan tahun 1981.

Paling tidak ada dua salah urus negara yang seharusnya tak terjadi dalam jangka panjang jika Indonesia tidak dimanjakan oleh minyak bumi. Pertama, salah alokasi sumber daya dalam pembangunan ekonomi. Hal ini cukup menonjol, terutama sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Pengembangan industri berteknologi tinggi seperti industri pesawat terbang jelas merupakan pilihan kebijakan yang ganjil. Padahal, Indonesia memiliki kebutuhan riil yang lebih mendesak, misalnya pengembangan energi alternatif peng- ganti BBM dan industri mobil.

Kedua, korupsi dan kronisme dalam berbagai bentuk. Kronisme terutama pada rezim Soeharto telah mengarahkan industrialisasi ke arah substitusi impor dengan proteksi bagi pengusaha kroni. Kita tahu beberapa negara Asia Timur berhasil dalam industrialisasinya karena mendorong produk berorientasi ekspor. Bukan kebetulan jika negara-negara itu adalah negara yang miskin sumber daya alam. Lahirlah pengusaha-pengusaha besar yang sangat bergantung pada pemerintah. Nyaris mustahil pengusaha seperti itu mampu menjadi motor kemajuan ekonomi.

Berakhirnya kutukan?

Menipisnya cadangan minyak bumi dengan berbagai dampaknya berpotensi mengakhiri kutukan yang telah puluhan tahun menghantui Indonesia. Pemerintah saat ini, mau tidak mau, harus segera memperbaiki tata kelola pemerintahan dan APBN jika ingin bertahan kekuasaannya.

Dari sisi penerimaan, pemerintah harus memperbaiki sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan utama. Faktanya, tidak akan ada peningkatan pajak yang memadai tanpa perbaikan iklim usaha. Selanjutnya, tidak ada perbaikan iklim usaha tanpa pemberantasan korupsi dan pungutan liar. Di sini kemiskinan sumber daya alam dapat menjadi berkat.

Dari sisi pengeluaran, pemerintah, sekali lagi, dipaksa memprioritaskan alokasi yang paling sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan publik. Keluhan publik seperti dalam kasus mahalnya pendidikan jika diabaikan akan berujung pada delegitimasi pemerintah.

Dibutuhkan dua syarat untuk benar-benar mengakhiri kutukan minyak bumi tersebut. Pertama, keberanian pemerintah dalam mereformasi kebijakan. Kedua, tidak adanya elite yang memanfaatkan kebijakan yang bersifat pil pahit untuk kepentingan merebut kekuasaan.

Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute

Kompas, 11 Agustus 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/11/opini/1965270.htm

Blok Cepu dan Bangsa Mandiri

Oleh Kwik Kian Gie

Perundingan antara Pertamina dan ExxonMobil guna mencapai titik temu kerja sama mengeksploitasi sumur Blok Cepu amat alot. Perundingan telah lama dimulai. Ketika saya masih duduk sebagai anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina ex officio, Pemerintah Amerika Serikat sudah ikut campur.

Pemimpin tertinggi ExxonMobil (EM), lalu Dubes Ralph Boyce, dan terakhir Presiden George W Bush ikut menekan Pemerintah Indonesia jangan sampai EM tidak dibolehkan ikut mendapat manfaat dari minyak di sumur Blok Cepu.

Semua kontraktor asing boleh mengeksplorasi dengan peraturan dan syarat jelas. Maka, tidak perlu ada perundingan alot sampai melibatkan presiden kedua pihak. Alotnya perundingan disebabkan permintaan EM yang sejak awal harus ditolak sama sekali tak mau berunding.

Dijual Tommy Soeharto

Semula Tommy Soeharto mempunyai izin untuk mengeksploitasi minyak di sumur ”kecil” Cepu. Lisensi itu berakhir tahun 2010, lalu dijual kepada EM. Mengetahui ada cadangan minyak 600 juta barrel, EM mengusulkan agar kontrak antara Indonesia dan EM diperpanjang hingga 2030, disertai deal bisnis rinci.

Saat itu status hukum Pertamina masih perum. Menurut undang-undang, yang berhak memutuskan adalah Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), terdiri dari lima menteri dengan suara aklamasi. Jika tidak, keputusan diambil Presiden. Tiga anggota DKPP setuju, dua menolak kontrak diperpanjang. Karena aklamasi tidak dicapai, Presiden Megawati menerima ”bola panas”.

Sebelum keputusan diambil, badan hukum Pertamina berubah dari perum menjadi persero. Kekuasaan tertinggi di tangan pemegang saham, yaitu pemerintah. Namun karena bentuk hukumnya persero, pemerintah harus berpura-pura memberikan wewenang kepada Direksi Pertamina. Ternyata Direksi Pertamina di bawah Widya Purnama tak mau menyerah dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Namun, karena pemerintah dan Presiden AS ikut campur, menarik disimak apakah setelah diambil alih presiden, keputusannya menjadi lebih lunak daripada yang dikehendaki Widya Purnama?

Kita telusuri argumentasi pro-kontra, terus bersama EM atau 100 persen dieksploitasi Pertamina. Mengapa EM ngotot? Karena mereka menemukan kandungan minyak 600 juta barrel. Belakangan disebutkan, kandungannya 1,2 miliar sampai dua miliar barrel.

Kontrak adalah kontrak, setelah 2010 Blok Cepu harus 100 persen dieksploitasi Pertamina. Alasannya sederhana. Jika EM ngotot, pasti labanya besar. Maka, jika sepenuhnya dieksploitasi Pertamina, 100 persen laba jatuh ke Pertamina.

Mampukah Pertamina? Dirut Pertamina saat itu, Baihaki Hakim, menyatakan mampu, apalagi terletak di Pulau Jawa dan mudah aksesnya. Soal expertise bisa disewa, bukan mengundang EM sebagai majikan. Apakah ada dana, jelas ada, karena banyak bank antre memberi kredit jika kandungan minyak begitu besar.

Pesan Bung Karno

Setelah 60 tahun merdeka, pantaskah 92 persen minyak Indonesia dieksploitasi asing? Kini saatnya memperbesar porsi Indonesia dalam eksploitasi minyak sendiri? Khusus Blok Cepu, sumur ini dijadikan titik awal menjalankan strategi.

Sekitar dua bulan setelah menjadi Dirut Pertamina, Baihaki dan jajaran memberikan paparan kepada saya selaku Menko Ekuin kala itu tentang kebijakannya.

Dikemukakan, visi dan misinya menjadikan Pertamina perusahaan kelas dunia yang mampu mengembangkan diri menjadi perusahaan multinasional, seperti BP, Shell, dan EM.

Pertamina sudah menjadi organisasi besar, sementara cadangan minyak terus menyusut, dan minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (nonrenewable resource). Maka, jika cadangan sudah menyusut, Pertamina harus menjadi perusahaan multinasional besar sehingga sumber-sumber minyak mentah diperoleh dari mana saja. Jika tidak, mau diapakan organisasi Pertamina dengan cadangan minyak yang sudah habis?

Itu sebabnya Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan saya menyetujui Pertamina mengambil risiko menanamkan modalnya untuk eksplorasi di mana saja. Saya berpesan agar dicermati supaya risiko yang diambil sudah diperhitungkan (well calculated risk).

Saat Executive Vice Presiden EM mendatangi saya dan mencoba meyakinkan, saya katakan, ”Please, bolehkah saya belajar menjadi perusahaan seperti Anda di Tanah Air sendiri, menggunakan cadangan minyak sendiri sebagai modal awal? Apakah ExxonMobil saat mulai tidak mengambil risiko besar yang Anda gambarkan menakutkan? Saya bukan Inlander.”

Saya kisahkan sikap Bung Karno yang membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing. Yang lain, ”Kita simpan di tanah sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri,” kata Bung Karno.

Referensi lain, bagian pleidoi Bung Hatta di pengadilan Scheveningen 1932. Dalam sidang, majelis hakim mepertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu mengurus diri sendiri di alam merdeka yang dikehendaki Bung Hatta bersama mahasiswa Indonesia yang bergaung Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.

Bung Hatta mengatakan, ”Saya lebih suka melihat Nusantara tenggelam di laut daripada dijajah Tuan-tuan.” Majelis Hakim memvonis Bung Hatta bebas murni, tetapi di Nederlands Indie (Hindia Belanda) dengan alasan sama, tiga tahun sebelumnya, Bung Karno divonis dibuang dan dipenjara. Hingga kini, haruskah kita berjiwa terjajah? Presiden Yudhoyono selayaknya tidak menuruti kemauan EM dan tidak takut tekanan AS. Tidak semestinya Pemerintah AS ikut dalam deal bisnis.

Kwik Kian Gie
Mantan Menko Perekonomian dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Gotong Royong

Kompas, 23 Februari 2006
http://kompas.com/kompas-cetak/0602/23/opini/2460741.htm

Harga BBM dan APBN Kita

Oleh Kwik Kian Gie

Menyikapi naiknya harga minyak mentah hingga 74 dollar AS per barrel, Wakil Presiden Jusuf Kalla setelah rapat dengan menteri-menteri ekonominya mengatakan, sampai seberapa tingginya pun harga minyak mentah di pasar dunia, APBN tidak akan terpengaruh. Karena itu harga BBM dipastikan tidak akan naik, meski harga minyak mentah mencapai 100 dollar AS per barrel.

Namun Menteri Keuangan mempunyai pendapat yang berbeda. Dia menyatakan, harga minyak dunia yang tinggi mengakibatkan subsidi BBM meningkat lagi. Demikian juga subsidi kepada PLN, sehingga APBN menjadi rawan. Menko Perekonomian Boediono mempunyai pendapat yang sama dengan Menkeu. Dia mengatakan, penerimaan migas akibat kenaikan harga minyak mentah masih lebih kecil dibanding dengan beban subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.

Bagaimana ekonomi mau beres jika untuk masalah yang begitu penting tidak ada pengetahuan dan pemahaman yang sama antara menteri-menteri ekonomi dengan Wapres yang memegang kendali ekonomi tertinggi ?

Tidak lama setelah dilantik, dalam kesempatan bertemu singkat dengan Wapres JK, beliau mengatakan kepada saya, kalau harga minyak mentah mencapai 60 dollar AS per barrel, pemerintah harus mengeluarkan subsidi untuk BBM dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 115 triliun. Uang itu tidak ada. Terjadilah kenaikan harga BBM sampai sama dengan harga pasar dunia.

Kalau kita ambil bensin premium, harganya naik dari Rp 2.700 menjadi Rp 4.500 per liter. Dengan nilai tukar rupiah satu dollar AS sama dengan Rp 10.000, harga bensin premium yang menjadi Rp 4.500 per liter ekuilaven dengan harga minyak mentah sebesar 61,55 dollar AS per barrel. Ketika itu, harga minyak mentah 60 dollar AS per barrel.

Jelas sekali jalan pikirannya, harga BBM di dalam negeri harus selalu ekuivalen dengan harga minyak mentah di pasar dunia. Dikatakan oleh Wapres, selanjutnya harga BBM akan naik turun dengan persentase yang persis sama dengan naik turunnya harga minyak internasional yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX). Maka, katanya lebih lanjut, Indonesia sudah tidak akan lagi mempunyai masalah subsidi BBM.

Segera setelah kenaikan harga BBM yang drastis itu, semua harga barang dan jasa meningkat tajam. Terutama PLN yang bahan bakunya BBM, langsung menyatakan akan rugi amat besar jika tarif dasar listrik (TDL) tidak dinaikkan. Mula-mula pemerintah mengatakan TDL akan dinaikkan. Tetapi setelah ada reaksi keras dari masyarakat, pemerintah ketakutan. Buru-buru mengatakan TDL tidak akan dinaikkan, yang berarti, listrik disubsidi.

“Opportunity loss”

BBM tidak disubsidi, TDL disubsidi. Yang lebih aneh lagi, “subsidi” BBM yang ditiadakan justru bukan subsidi, tetapi perbedaan antara harga yang dikenakan kepada konsumen Indonesia untuk minyak yang dimilik sendiri dengan harga yang ditentukan NYMEX. Kalaupun mau berpikir dalam arti “rugi”, ruginya itu opportunity loss, bukan real cash money loss. Dalam hal TDL, karena PLN harus membayar bahan bakar yang mahal dari Pertamina, kerugiannya kerugian riil. Dan ini justru disubsidi. Jelas jalan pikiran pemerintah amat kacau balau.

Dalam kekacau berpikir ini Wapres JK menyadari, yang dinamakan “subsidi BBM” tidak sama dengan pengeluaran uang. Maka dikatakan, sampai seberapapun harga minyak mentah di pasar internasional, APBN tidak akan terpengaruh. Apa artinya?

Artinya, ketika Wapres JK mendukung sekuat tenaga menaikkan harga BBM sampai 126 persen, beliau dikecoh dan “disesatkan” oleh para menteri ekonominya sendiri. Kini ia baru menyadari.

Tidak demikian dengan para menteri ekonominya. Bagi mereka mekanisme pasar adalah dogma dan doktrin yang harga mati. Jika di Indonesia tidak ada mekanisme pasar untuk minyak mentah, mekanisme pasar di New York atau NYMEX harus berlaku buat minyak mentah Indonesia.

Kita harus bergembira bahwa Wapres JK mulai “berpikir normal”. Untuk itu, izinkan saya menjelaskannya sekali lagi.

Biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi dari minyak mentah sampai menjadi BBM atau bensin yang siap pakai di pompa-pompa bensin sebesar 10 dollar AS per barrel. Kalau nilai tukar rupiah, misalnya, Rp 10.000 per dollar AS, maka per liter menjadi Rp 630.

Jadi sebelum harga bensin premium dinaikkan, yaitu ketika masih Rp 2.700 per liter pemerintah sudah kelebihan uang tunai sebesar Rp 2.070 per liter. Mengapa dikatakan memberi subsidi? Karena doktrin “mekanisme pasar” mengatakan, BBM milik bangsa Indonesia yang harus dibayar pemiliknya sendiri dan harus ditentukan oleh NYMEX.

Nah, NYMEX menentukan harga minyak mentahnya 60 dollar AS per barrel. Jika dengan nilai tukar RP 10.000 per dollar, maka sama dengan Rp 600.000 per barrel. Bila dibagi 159, maka per liternya menjadi Rp 3.774.

Angka itu ditambah biaya-biaya lifting, pengilangan dan transportasi sebesar Rp 630 per liter tadi menjadi Rp 4.040. Doktrin mekanisme pasar mengatakan, ini yang namanya “harga” dan yang harus dikenakan kepada bangsa Indonesia.

Selisih dengan harga yang dikenakan sebelum naik (Rp 2.700 per liter) sebesar Rp 1.340 adalah subsidi. Ini harus dihapus dengan menaikkannya menjadi Rp 4.500 per liter dengan bensin premium sebagai acuan.

Mengingat Wapres menganggap mekanisme pasar bukan doktrin, saat menyadari kesalahan atau “penyesatan” yang diberikan kepadanya oleh menteri-menteri ekonominya, beliau dengan lantang mengatakan seperti dikutip di atas. Tetapi tidak demikian dengan menteri-menteri ekonominya. Mereka harus mempertahankan doktrin yang diperintahkan “majikan” mereka. Maka mereka tidak peduli apakah sesama anak bangsa mati kelaparan atau tidak akibat naiknya harga BBM yang harus selalu persis sama dengan harga yang dibentuk NYMEX.

Sebagian memang impor

Perlu dikemukakan, BBM yang dikonsumsi rakyat Indonesia sebagian harus diimpor. Untuk yang harus diimpor ini, pemerintah harus membayar harga internasional sepenuhnya. Maka jika harga jual BBM tidak ekuivalen dengan harga minyak mentah internasional, pemerintah memang rugi.

Untuk yang dapat dipenuhi oleh minyak mentah yang menjadi hak Indonesia, pemerintah memperoleh surplus uang. Surplus uang tunai ini harus disandingkan dengan minus uang tunai dari bagian yang diimpor. Hasilnya mungkin masih minus, tetapi tidak banyak. Dan defisit yang tidak banyak ini dikompensasi dengan gas alam yang melimpah.

Dalam menghitung defisit atau tidak, JK sekarang memperluas wawasannya dengan gas alam. Maka dikatakanlah kalaupun harga minyak mentah di New York sampai 100 dollar AS per barrel sekalipun, APBN kita tetap bergeming.

Setelah “disesatkan” kini Wapres menjadi benar. Sayang BBM sudah telanjur dinaikkan 126 persen dengan akibat kerusakan ekonomi dan penderitaan rakyat yang amat luar biasa.

Kwik Kian Gie Ekonom Senior

Kompas 1 Agustus 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/01/opini/2846258.htm

Kemiskinan, Minyak, dan Ingar-bingar Perubahan Iklim

Oleh Francis Wahono

Mengurangi jumlah orang miskin hingga separuhnya pada 2015 adalah Tujuan Pembangunan Abad Milenium PBB. Namun, tujuan itu akan kian jauh bila perang, bencana alam, kebijakan global ataupun nasional termasuk kenaikan harga BBM bertubitubi, tidak pernah berhenti.

Ingar-bingar jelang perhelatan mondial kerangka aksi perubahan iklim di Bali mendatang serta terpilihnya Al Gore, salah satu tokoh penggeraknya, sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian 2007 juga bukan merupakan panasea sekejap mata. Bahkan, kalau salah kebijakan dan langkah, terapi perubahan iklim terhadap permasalahan kemiskinan yang terkait pemborosan energi yang polutif justru akan menjadi bumerang.

Tulisan pendek ini hendak mencoba memetakan nasib masyarakat miskin itu sendiri dalam tali-temali kemiskinan, krisis energi, dan ingar-bingar perubahan iklim. Sebagaimana Dudley Seers (1969) menaruh nasib masyarakat miskin sebagai centrum penyelesaian persoalan pembangunan pada awal tahun 1970-an, pada tahun 2000-an ini kita hendaknya menaruh nasib masyarakat miskin sebagai titik berangkat penyelesaian krisis energi dalam kaitan perubahan iklim.

Hal pragmatis

Sejauh ini tampaknya diskusi mengenai kerangka kebijakan dan aksi perubahan iklim secara simbolis terfokus kepada hal pragmatis bagaimana pengurangan polusi karbon di belahan negara-negara miskin Selatan dapat ditukarpasarkan di pasar-pengurangan-karbon Chicago dengan sekian dollar AS dari negara-negara kaya Utara, sebagai “harga penebusan dosa” industri-industri polutif di Utara yang juga menggurita di Selatan.

Dengan cara itu, yang akan terjadi dari pembagian “uang tebusan dosa”, sekurangnya ada tiga hal.

Pertama, para pelaku penyumbang pemanasan global sudah cuci tangan, seperti Pilatus terhadap Yesus.

Kedua, para rente ekonomi dari “uang tebusan dosa” cenderung menjadi pimpinan proyek di Selatan dengan semua kerentanannya terhadap korupsi dan manipulasi.

Ketiga, cara pembagian seperti itu condong untuk sesedikit mungkin melibatkan korban langsung dari pengotoran dan degradasi lingkungan seperti petani, nelayan kecil, dan masyarakat adat.

Dari segi pemborosan energi dunia yang dengan kenaikan harga minyak bertubi-tubi telah mengarah ke krisis, nasib orang miskin tidak hanya ditentukan kenaikan harga minyak, tetapi terbentuknya orang miskin juga disebabkan oleh pemborosan energi tak terbarukan itu.

Pemborosan energi

Pola pemborosan energi tak terbarukan yang akan membenturkan derap pertumbuhan ekonomi pada kematiannya terus terjadi sejak Club of Rome awal tahun 1970-an sampai sekarang, saat kebijakan energi dunia tidak pernah beranjak dari cara konsumsi energi Revolusi Industri.

Bahkan panasea yang ditawarkan EF Schumacher dengan “ekonomi Buddhist” dan “appropriate technology” sedikit sekali diikuti para pengambil kebijakan tingkat negara, pabrik ataupun masyarakat sipil. Yang terjadi adalah keterlambatan, yang sayang, masih hendak diselesaikan secara teknis pragmatis pula. Akibatnya, kemiskinan—kendati hendak dipangkas separuh pada tahun 2015—tetap akan menyertai kita bahkan semakin masif.

Contoh pengaruh kenaikan harga energi bertubi-tubi bagi masyarakat miskin dapat dilihat pada tabel. Dari tabel data penelitian di dua desa di Jawa Tengah itu dapat dibaca, selama kurun waktu hampir 15 tahun, masyarakat miskin telah lebih dipermiskin dalam kemampuan mengonsumsi makanan sebanyak 6,2 persen (dari 63,8 persen turun ke 57,6 persen), selain dipermiskin dalam kemampuan membiayai pelayanan kesehatan sebanyak 1,5 persen (dari 4,0 persen turun ke 2,5 persen). Dengan asumsi krisis moneter sudah usai, proses pemiskinan itu terutama disebabkan terjadinya kenaikan bertubi-tubi harga energi BBM dan listrik sehingga memaksa masyarakat miskin meningkatkan alokasi pengeluaran untuk energi sebanyak 1,7 persen.

Kenaikan harga energi yang terus-menerus mendorong inflasi pada banyak sektor, yang pada gilirannya memaksa masyarakat miskin secara drastis menaikkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan sebanyak 4,3 persen, disusul pengeluaran untuk angkutan sebanyak 0,9 persen.

Anehnya, pengeluaran untuk barang mewah umumnya berupa perhiasan emas dan tabungan—biasanya berupa pembelian binatang seperti sapi—justru menaik, masing-masing 1,1 persen dan 0,9 persen.

Bila dikorek lebih dalam, kenaikan pengeluaran untuk perhiasan emas dan binatang seperti sapi amat logis: dalam hidup yang penuh risiko keuangan, menyimpan emas dan memelihara sapi adalah bentuk menjaga aman fluktuasi ekonomi. Singkat kata, kemiskinan yang dulu acap disebabkan berkurangnya persediaan pangan, kini didorong kebijakan penaikan harga energi bertubi-tubi.

Di kalangan masyarakat berada pun terjadi pengurangan konsumsi makanan sebesar 5,3 persen guna membayar kenaikan harga konsumsi energi sebesar 1,7 persen dan kenaikan pengeluaran untuk angkutan sebesar 1,9 persen.

Tabungan mereka juga turun 2,4 persen. Kendati daya beli masyarakat di desa tidak begitu terpengaruh, untuk membeli pakaian, rumah, pendidikan, dan kesehatan, kenaikan harga energi yang bertubi telah mengurangi daya konsumsi makanan dan pengeluaran untuk tabungan mereka. Singkat kata, untuk jaminan keamanan keuangan masa depan, masyarakat desa terpaksa menguras tabungan mereka karena kenaikan harga energi bertubi.

Matinya energi mata air

Kebijakan dan praktik pengurangan pemborosan energi, yang menjadi biang pemanasan global di negara tropis Selatan, hampir-hampir terkonsentrasikan pada produksi energi alternatif, khususnya biofuel. Lebih spesifik lagi, biofuel yang menjadi primadona adalah pembukaan besar-besarnya perkebunan kelapa sawit.

Namun, apa yang terjadi dengan perkebunan kelapa sawit, justru bumerang bagi kita. Biofuel yang dihasilkan membutuhkan ongkos berupa degradasi lingkungan, termasuk matinya energi mata air dan tambahan pemanasan global dari penguapan minyak sawit ke atmosfer, selain korban buruh perkebunan bak zaman budak belian, serta terserobotnya tanah-tanah adat dan hilangnya ribuan keanekaragaman hayati.

Yang terakhir, dengan hilangnya ekosistem multikultur dan diganti monokultur sawit, kedaulatan dan ketahanan pangan menjadi amat rentan. Pangan rentan berarti bukan sekadar kemiskinan yang meningkat, tetapi juga kelaparan mengancam.

Kelapa-sawitisasi

Kini di pulau-pulau lebih besar dari Jawa seperti Kalimantan dan Sumatera ada proses kuat untuk menggantikan pertanian pangan dan cash crop rakyat dengan pertanian perkebunan, khususnya kelapa sawit. Terjadilah kelapa-sawitisasi oleh modal investor dalam dan luar negeri, termasuk dari Malaysia.

Dengan sawit, harga CPO kini memang sedang tinggi. Namun, sawit pada dasarnya mempermiskin kandungan hara tanah, sehingga tanah bekas ditanami sawit akan menjadi tandus. Satu pohon sawit dewasa bisa menyedot air tanah 15 liter sehari.

Hal ini akan kian parah bila kita bicara soal megaproyek di perbatasan Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur berhadapan dengan Serawak dan Sabah. Selain proyek ini akan membabat habis hutan perawan tempat semua sungai di Kalimantan bermuara, juga terjadi penggundulan hutan besar-besaran. Penghasilan dari mencuri kayu secara legal sudah lebih dari cukup untuk biaya menanam kelapa sawit. Jadi, untungnya dobel, kayu yang di-“bersih”-kan dan kelapa sawit.

Selain itu sawitisasi sudah lama menggusur karet rakyat, padahal karet adalah simpanan seumur hidup sampai anak cucu, hanya dengan disiangi tiga tahun sekali, disadap tiap hari. Sawit harus dipelihara terus dan modal tanam yang tinggi menyebabkan yang masuk adalah korporasi.

Di Sumatera, sawitisasi menggusur cokelat, teh, kopi juga tanaman pangan seperti padi. Kini bangunan-bangunan irigasi di Simalungun sudah terbengkalai. Investasi dari pinjaman Bank Dunia itu mubazir.

Benar, petani pola perkebunan inti rakyat (PIR) sawit dari Jawa yang ada di Riau lebih banyak yang berhasil daripada petani pangan yang miskin terus. Namun, ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang tidak pernah propetani pangan. Petani pangan seharusnya pahlawan bangsa, layak disubsidi demi ketahanan bangsa, seperti petani gandum di Australia dan Selandia Baru. Tidak selayaknya, petani justru menyubsidi pembuat tabung elpiji luar negeri.

Francis Wahono Peneliti dan Konsultan Senior pada Institute for Social Movement and Management, Yogyakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/06/opini/3973952.htm
Kompas 6 November 2007

Berapakah Harga Tertinggi Minyak?

Oleh   Salahuddin Wahid

Meroketnya harga minyak mentah dunia tentu akan berdampak besar bagi semua negara, termasuk Indonesia. APBN kita amat tergantung pada harga tersebut, apalagi saat ini kita bukanlah net-exporter lagi.

Dengan sendirinya, kita bertanya sampai harga manakah minyak dunia akan naik? Apa saja yang membuat harga minyak mentah dunia meroket? Apakah peningkatan harga produksi? Apakah faktor supply-demand semata? Apakah permainan para spekulan yang melakukan hedging? Apakah gabungan semua itu?

Tidak mudah untuk menjawabnya. Yang jelas, harga telah meroket dan akan terus meroket. Saat harga minyak dunia mulai melambung (2005), Stephen Leeb Ph D dalam The Oil Factor(2004) menyatakan bahwa harga minyak bisa mencapai angka USD100/barel. Kini harga USD100/barel sudah hampir tercapai. Februari 2006, Leeb menerbitkan buku The Coming Economic Collapse, yang memperkirakan bahwa harga minyak dunia akan mencapai USD200/barel (2010).

Menurutnya, para pemimpin AS bukannya mengantisipasi perkiraannya itu, bahkan tidak mau mengakuinya. Dia mengingatkan bahwa kelangkaan energi bisa membawa bangsa Amerika ke arah krisis ekonomi terparah, bahkan peradaban Amerika bisa kolaps. Tulisan ini mengutip bagian-bagian penting dari buku itu.

*****

Pada 1950-an, ahli geologi King Hubbert mengamati bahwa begitu separuh dari sebuah lapangan tertentu dikuras, maka produksi akan mulai menurun. Hubbert menyimpulkan bahwa produksi minyak di AS akan mencapai puncaknya pada awal 1970-an. Kesimpulan itu terbukti benar.

Tahun 1970-an, produksi minyak AS mencapai puncaknya sepanjang sejarah, sedikit di atas 9 juta barrel per day (bpd), setelah itu menurun. Saat ini, AS memproduksi sekitar 5,5 juta bpd. Awal 1970-an adalah saat pertama AS mulai mengonsumsi lebih banyak impor minyak- dari Arab Saudi dan negara sekutunya-daripada produksi sendiri. Matthew Simmons, penulis Twilight in the Desert, mengemukakan bahwa cadangan minyak Saudi (1979) yang telah terbukti adalah 110 miliar barel.

Sejak itu Saudi telah mengisap sekitar 60 miliar barel, lebih dari separuh. Produksi Saudi mungkin telah mencapai puncaknya dan akan menurun. Kebutuhan minyak dunia meningkat 1,5-2 million barrels a day (mbd)/tahun. Departemen Energi AS (DOE) dan Badan Energi Internasional membuat proyeksi bahwa kebutuhan minyak dunia bisa meningkat dari 77 mbd (2000) menuju 120 mbd dalam 20 tahun.

Kedua badan itu menganggap bahwa sebagian besar pasokan yang dibutuhkan berasal dari OPEC yang produksinya diharapkan melompat dari 28 mbd (1998) ke 60 mbd (2020), berasal dari negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Padahal, Arab Saudi selama 20 tahun tidak pernah bisa meningkatkan produksinya. DOE menganggap Rusia dan AS akan mampu memproduksi lebih besar dibanding perkiraan awal. Diperkirakan produksi AS akan naik 7% selama 5 tahun.

Asumsi itu terlalu optimistis karena selama 35 tahun terakhir produksi AS justru menurun. Demikian juga dengan perkiraan produksi Rusia. Untuk sesaat Rusia tampak menjanjikan. Antara 1995-1998, produksi minyak Rusia berkisar 6 mbd. Mulai 1999 produksi meningkat dan mencapai angka 11 mbd (2004). Tahun 2005 produksi minyak Rusia tidak meningkat lagi.

Kebutuhan internal minyak Rusia meningkat sehingga mengurangi ekspor. Empat tahun lalu, DOE memperkirakan kebutuhan minyak dunia akan mencapai 89,7 mbd pada 2010. Tetapi perkiraan DOE 2005 mendekati 95 mbd. Dengan kenyataan tersebut, perkiraan harga USD100/barrel pada 2010 menjadi terlalu optimistis. Ternyata, sekarang harga sudah akan mencapai USD100/barrel. Sejak 1970-1982, harga minyak melonjak dari USD1,35/barel mencapai hampir USD35.

Lonjakan 26 kali lipat dalam 12 tahun. Tahun 1998, harga minyak USD10/ barel. Lalu, 12 tahun kemudian (2010),kalau dikalikan 26 kali mencapai USD260/ barel. Tentu, sejarah tidak berulang secara tepat. Leeb juga tidak menyatakan bahwa USD260 adalah target yang pasti. Hanya bisa dicatat bahwa harga minyak akan mencapai tingkat yang amat menyakitkan.

Dia menentukan perkiraan USD200/barel tidak mustahil tercapai. Leeb mengingatkan bahwa AS dan dunia menghadapi krisis energi paling serius sepanjang sejarah. Krisis yang kita sepenuhnya tidak siap untuk menghadapinya. Tampaknya, kekhawatiran Leeb itu tidak mendapat perhatian memadai dari Pemerintah AS dan pakar.

Oktober 2005, website DOE membuat prediksi berikut: “Harga rata-rata tahunan minyak dunia diukur dalam nilai riil dolar 2003 (disesuaikan inflasi) akan naik dari USD27,73/barel (2003) menjadi USD35/barel (2004), lalu turun menjadi USD25 (2010) ketika pasokan baru dari domestik dan impor memasuki pasar.”

*****

Leeb menyatakan bahwa krisis minyak mendatang akan menjadi tantangan terberat yang pernah dihadapi AS. Apakah peradaban AS telah mengembangkan kebijaksanaan dan skill yang dibutuhkan untuk mengatasinya? Kalau tidak, peradaban AS akan runtuh atau kolaps. Hanya dengan usia 229 tahun, peradaban AS terlalu muda untuk menunjukkan suatu kelebihan khusus yang dapat menjamin survival jangka panjang.

Peradaban besar masa lalu seperti Kekaisaran Roma mencapai usia hampir seribu tahun, kekhilafahan Islam hampir 700 tahun. Leeb memperingatkan rakyat AS bahwa sebenarnya AS tidak terlalu hebat. Para antropolog memberi informasi bahwa banyak dari peradaban yang runtuh dalam sejarah juga berkeyakinan mereka superior.

Perkiraan ilmiah mendukung pendapat bahwa peradaban kita lebih rapuh daripada dugaan kita. Leeb mengutip Michael Shermer yang menulis di Scientific American tentang penelitian terhadap 60 peradaban, kuno maupun modern. Untuk yang sudah punah, dihitung berapa lama eksistensinya dan bagi yang masih eksis digunakan usia yang nyata ada.

Disimpulkan bahwa rata-rata usia peradaban hanya 421 tahun. Lebih mengejutkan, peradaban modern tidak lebih lama daripada peradaban kuno. Dari 28 peradaban mutakhir, yaitu yang muncul setelah kejatuhan Roma, rata-rata usianya hanya 305 tahun. Peradaban modern lebih kompleks, harus berkompetisi dengan peradaban lain sehingga membutuhkan lebih banyak SDA untuk mempertahankan eksistensi dan melindungi teritori. Jelas hal itu amat mahal.

Hanya karena telah eksis selama dua atau tiga ratus tahun, tidak berarti satu peradaban akan bertahan selamanya. Kalau cukup banyak cendekiawan AS yang khawatir akan kepunahan peradaban mereka dan menyerukan kewaspadaan, tentunya kita harus lebih khawatir dan lebih waspada. Kalau peradaban kita ingin menjaga masa depannya, kita tidak boleh membiarkan (banyak) krisis yang sedang menghampiri bisa memerangkap kita tanpa persiapan. Jelas krisis kita lebih berat daripada yang dihadapi AS.

Jared Diamond dalam Collapse menyimpulkan, negara kita punya kecenderungan kuat menjadi negara gagal. Kita tidak bisa mengabaikan begitu saja peringatan dari para pakar itu. Semestinya, kita tahu bagaimana menyusun langkah antisipatif. Tetapi, kemauan sebagian besar dari kita untuk melakukannya yang belum kelihatan. Bio-fuel yang pernah dicanangkan pada 2005 oleh Presiden ternyata tidak jelas bagaimana kelanjutannya.

Kini,pemerintah lebih tertarik dengan tenaga nuklir yang memancing penolakan dari banyak pihak,termasuk sejumlah pakar. Pikiran seorang awam seperti saya sederhana saja: mengapa dana untuk pembangunan nuklir itu, yang tentu berjumlah amat besar, tidak digunakan untuk pengembangan bio-fuel? (*)

Pengasuh Pesantren Tebuireng

Okezone.com, Selasa, 6/11/2007 – 10:18 WIB
http://www.okezone.com/index.php/opini/detail/2007/11/06/58/58794

Krisis Minyak, Musuh Bersama

Oleh A Tony Prasetiantono

Ketika kepanikan subprime mortgage memuncak Juli-Agustus lalu, saya termasuk cukup percaya diri, bahwa krisis ini bisa diatasi dan tidak menjadi resesi global.

Alasannya, otoritas perekonomian Amerika Serikat (AS) dan negara-negara besar memiliki kapasitas untuk menanggulanginya. Sejarah perekonomian juga menunjukkan, cukup jarang ada resesi dunia yang bermula dari Wall Street, bursa efek New York. Yang terbesar adalah depresi 1930-an, lalu krisis 1987 yang intensitasnya lebih rendah. Kepanikan di Wall Street pada peristiwa 9/11 (2001) dan skandal akuntansi Enron (2002) tidak sampai menyebabkan resesi global. Ini membuktikan, kapasitas AS dan negara-negara besar cukup memadai untuk meladeni kepanikan di lantai bursa.

Namun, ketika harga minyak menjadi 92 dollar AS per barrel, dan bisa menerjang 100 dollar AS per barrel, masalahnya menjadi lain. Sebab, kepanikan di bursa efek bisa dibilang bersifat semu, virtual. Namun, kenaikan harga minyak merupakan hal fundamental. Di dunia ini nyaris tak ada proses produksi yang tak mengandung minyak sebagai salah satu input-nya. Berbeda dengan krisis saham, krisis minyak lebih langsung (more direct) dirasakan dampaknya oleh setiap pelaku ekonomi.

Kolektivitas kebijakan

Belajar dari kasus kepanikan subprime mortgage yang kini cukup tertanggulangi, apa kunci peredamnya? Ada dua hal.

Pertama, Fed (bank sentral AS) menurunkan suku bunga secara signifikan sehingga memberi ruang gerak debitor kredit perumahan untuk melunasi. Lalu tumbuh ekspektasi, kebijakan penurunan suku bunga ini akan berlanjut.

Kedua, dengan kompak negara-negara besar mengintervensi pasar, dengan menginjeksi pasar uang dengan likuiditas skala besar. Kombinasi AS dan Uni Eropa memasok 350 miliar dollar AS. Jepang dan Kanada juga melakukan hal serupa. Sebagai perbandingan, AS cukup menginjeksi 82 miliar dollar AS saat meredam kepanikan 9/11. Injeksi ini untuk meyakinkan pelaku pasar, mereka tidak usah panik karena seberapa banyak dana diperlukan jika terjadi penjualan saham dan obligasi (redemption), likuiditas tersedia.

Pengalaman ini mengajarkan, jika negara-negara besar kompak dan berkoordinasi, krisis bisa diredam. Kini, krisis minyak dunia juga merupakan persoalan besar yang memerlukan kolektivitas negara-negara besar untuk memeranginya. Bagaimana caranya?

Harga minyak yang menggila pada dasarnya disebabkan dua hal: faktor obyektif dan subyektif. Faktor obyektif adalah meningkatnya permintaan terhadap minyak karena perekonomian global tumbuh cepat. Konsumen minyak terbesar dunia secara konvensional adalah AS, mencapai 20 juta barrel sehari, dibandingkan dengan permintaan dunia yang sekitar 85 juta barel sehari.

Tingginya permintaan minyak dunia juga dipicu liberalisasi. Lihat kasus Indonesia. Liberalisasi perdagangan membuat tarif bea masuk otomotif turun, menyebabkan booming otomotif. Dalam setahun, di Indonesia terjual 400.000 mobil dan empat juta sepeda motor, sebuah level yang tidak mungkin tercapai sebelum gelombang liberalisasi. Konsekuensinya, konsumsi minyak pun meningkat tajam.

Fenomena serupa terjadi di mana-mana, khususnya emerging markets, yang berpuncak di China dan India. Di dua negara berpenduduk terbesar di dunia itu, China (1,3 miliar) dan India (1,1 miliar), perekonomiannya tumbuh paling laju pada tahun ini, yakni 11,5 persen (China) dan 9,4 persen (India). Semua kinerja ini berujung pada pengurasan energi minyak.

Celakanya, meski teknologi kian canggih, kini justru kian sulit mengeksplorasi minyak. Dalam kasus Indonesia, saat jumlah penduduk baru 130-an juta (1980-an), produksi minyak mentah (crude oil) mencapai rekor tertinggi 1,6 juta barrel sehari. Konsumsi domestik hanya 800.000-an barrel sehari. Kini, jumlah penduduk 225 juta, produksi minyak mentah justru turun menjadi 950.000 barrel, padahal konsumsinya 1,3 juta barrel sehari.

Inilah fakta ironis perekonomian Indonesia dan dunia. Gelombang liberalisasi, dengan dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi, ternyata dibayangi dampak negatif krisis energi yang serius.

Sementara itu, faktor subyektif dalam krisis minyak adalah terjadinya krisis geopolitik dan sentimen pasar, yang menyebabkan harga minyak melambung secara tidak proporsional (mengalami leverage). Krisis geopolitik berupa tingginya tensi politik dan keamanan, terutama di Timur Tengah. Adapun leverage harga minyak terjadi karena komoditas ini sudah masuk arena spekulasi, sebagaimana investor bisa “menggoreng” harga saham.

Musuh bersama

Adakah solusinya? Ada, meski jalan amat terjal. Sebagaimana solusi krisis subprime mortgage, solusi krisis minyak juga menuntut kekompakan, kebersamaan, dan pengorbanan negara-negara kunci. Krisis minyak harus ditempatkan sebagai musuh bersama, yang penyelesaiannya menuntut kolektivitas yang solid.

Dari sisi supply, dunia harus menekan negara-negara produsen minyak agar menaikkan produksinya. Namun, maukah mereka? Jangan-jangan produsen terbesar, Arab Saudi, justru sedang menikmati “rezeki” harga minyak tinggi ini.

Dari sisi demand, konsumen terbesar seperti AS dan China harus mau mengerem pertumbuhan ekonominya. Namun, bisakah? China terus menggenjot pertumbuhan karena masih berkutat dengan pengangguran terbuka 9,5 persen, atau sekitar 60 juta orang.

Dari sisi geopolitik, bisakah pihak-pihak bertikai untuk bersabar? Bisakah Presiden Bush menghentikan hasrat agresifnya di Timur Tengah? Jika tidak bisa, kita harus menunggu Pemilu AS 2008, untuk memilih (misalnya) Hillary Clinton agar bisa mengubah kebijakan politik menjadi lebih kalem, sebagaimana Bill Clinton dulu.

Semua pilihan kebijakan itu memang sulit dan memerlukan kerelaan besar untuk berkorban (sacrifice). Namun, itu wajib dilakukan jika tidak ingin menyaksikan harga minyak menerjang kita dan membiarkan perekonomian global terbenam ke jurang resesi lebih dalam.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Kompas, Senin 27 Oktober 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/29/opini/3947149.htm